Dadaku bergejolak, nafasku tak beraturan, dan jantungku mengalun tanpa irama. Disitulah aku berdiri, berusaha membalas dengan senyuman senang berpadu haru. Dentingan musik sudah mulai berirama, ku ambil nafas panjang masuk dan menikmati irama demi irama tembang kenangan yang ditantangkan juri. Setelah saatnya tiba aku mulai bernyanyi, mencoba menjiwai lagu sebisaku. Ku gengam mic erat, kupejamkan mataku rasanya saat ini aku berada di Banyuwangi malam.
Tahun 1999 aku masih SD kelas 2 aku berlari dengan tangan menggenggam botol plastik bekas air mineral, aku berlari menuju ke sebuah daratan tinggi yang biasa disebut gumuk disana ditanami ratusan pohon kakao. Dengan nafas terenggah-enggah aku tiba di atas. Aku berdiri memandangi puluhan hektar sawah yang membentang. Angin menyentuh rambutku pelan, aku berteriak lantang.“Wahai alam dengarkan aku… dengarkan suaraku…” Angin berhembus lagi, dan aku berteriak lagi.
“Aku nanti akan jadi orang terkenal, menjadi penyanyi ibu kota” teriak ku lagi, namun kali ini angin tak lagi berhembus. Seorang petani yang sedang menjaga padi dari serangan burung menyahut dengan suara keras, sehingga dapat ku dengar dari atas gumuk.
“Semoga nak… kamu bisa jadi orang terkenal dan membanggakan wilayah kita ini..”
“aku pasti bisa menjadi orang hebat… pak lik..” teriakku lagi, disitu aku selalu menghabiskan waktu dan suaraku untuk bernyanyi, aku tak ingin mengganggu orang dengan suaraku yang melengking tinggi, sehingga aku membuat konser tunggal, menganggap gumuk itu adalah sebuah panggung megah, botol bekas air mineral sebagai mic, dan padi-padi menguning adalah ribuan manusia yang menyaksikanku. Penonton setia yang selalu melambai-lambai dan bergoyang-goyang tertiup angin sore.
“Berkibarlah benderaku.. lambang suci gagah perwira.. di seluruh pantai Indonesia kau tetap pujaan bangsa…” Suaraku menggema bersahut-sahutan terbawa angin. Aku senang sekali menyanyikan lagu-lagu nasional saat itu
Hingga pada suatu ketika, saat aku kelas IV aku dan lima temanku menjuarai lomba paduan suara tingkat Kabupaten di Pendopo Banyuwangi. Itulah penghargaan pertamaku. Dan saat kelas VI aku menjuarai lomba tari tradisional tunggal tingkat Provinsi. Kata ibuku, ayah selalu membanggakanku di depan rekan-rekannya, ayahku bekerja di Kantor Kecamatan sebagai tukang kebun namun selalu mendapat kepercayaan pak camat. Disana ayahku seperti asisten pribadi Pak Pamat. Ibu juga memberitahukanku kalau Pak Camat mengucapkan selamat untukku. Kupajang piala pertamaku di ruang tamu dengan tujuan kalau tamu-tamu yang berkunjung melihat prestasiku.
Dengan berbekal dua piagam kejuaraan yang kumiliki, aku mudah mencari SMP terfavorit di daerahku. Kata orang-orang SMP nya anak-anak pintar, aku salah satunya. Aku mengikuti berbagai extra yang aku sukai seperti extra paduan suara, extra tari, extra musik dan extra teater. Aku juga aktif dalam organisasi Osis dan Dkg. Hari-hariku semakin sibuk, kewalahan dengan jadwal yang padat. Tiga tahun full masa smpku tersita untuk fokus terhadap sekolah, extra dan organisasi. Aku tak peduli dengan dunia luar itu apa. Aku menghabiskan waktu di sekolah hingga larut-larut malam, sampai terkadang ibu sangat menghawatirkan keadaanku. Namun tetap saja saat itu yang aku fikir adalah bagaimana caranya nilai akademisku tetap 9 atau naik hingga 100 dan nilai non akademisku maksimal.
Berkat ketekunan dan doa akhirnya itu semua dengan mudah aku raih. Di akhir kelas tiga aku mendapat NUN tertinggi, yang lebih membanggakan lagi aku menjuarai lomba piano tingkat provinsi. Ketika pulang wisuda SMP orangtuaku menghadiahi aku sepeda motor. Aku jingkrak-jingkrak senang, yang lebih senang lagi ibu bilang kepadaku kalau aku akan punya adik lagi. Aku memiliki satu adik laki-laki namanya Dion kuharap ibu membirikan adik perempuan untukku.
Aku memilih SMAN favorit yang berada di jantung kota Banyuwangi, karena sekolahnya jauh dari rumah. Ayah memutuskan agar aku kost. Ibu tak tega melihatku mengendarai motor pulang pergi sekolah. Aku nurut saja. Masih sama seperti SMP aku menarget prestasi nilai minimal akademis 9 walaupun aku ikut Osis, Da dan Extra Musik. Siapa sih yang tak mengenal nama Bintang Ilham Erlangga? Bintang yang multitalenta bersinar setiap saat. Namun semua itu membentukku menjadi manusia yang tak memiliki rasa solidaritas, aku lebih senang individual dalam pelajaran. Aku tak peduli teman-teman tak menyukaiku toh aku bisa sendiri. Apapun aku bisa sendiri dan aku juga tak mau mengganggu mereka. Aku berinteraksi dengan teman ketika berorganisasi selain itu aku ingin kita bersaing. Aku pintar mengasah bakat-bakat yang aku miliki bahkan bakat yang terpendam sekaligus; menulis misalnya. Diam-diam aku suka menulis puisi, mengarang cerita bebas bahkan membuat komik dengan animasi yang kubuat sendiri.
Saat menjelang ujian semester 2 ayah menelfonku kalau ibu berada di rumah sakit. aku tahu kalau ibu akan melahirkan adikku. Sepulang sekolah aku ke rumah sakit naik bus kota. Sesampainya di rumah sakit, ayah dengan air mata yang berlinang memelukku erat. Ayah yang selama ini gagah kini lemah, ia seperti manusia tanpa roh. Sedangkan adikku Dion yang masih berusia 12 tahun menangis di depan pintu kamar operasi.
“Ibumu keguguran Ham dan nyawa mereka berdua tak terselamatkan.” Suara itu bagaikan petir yang menyambar, aku tak kuasa menahan air di kelopak mataku. Baru saat itulah aku tahu apa yang dirasakan ayahku. Ayahku telah kehilangan dua sayapnya. Namun apa daya, aku bisa apa? itulah takdir dari Tuhan. Aku hanya bisa menguatkan ayahku yang lemas memucat. Adik dan ibuku telah tiada pada 04 Juni 2007. Saat itulah aku benar-benar berduka. Aku tak bisa berbuat apa-apa dengan kesedihanku. Aku menangis, mengingis dan menangis di belakang ayah.
Pada tahun 2010 aku lulus SMA, aku mendapat beasiswa di salah satu Universitas Tinggi Negeri di Jawa Barat, S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM). Atas restu ayah aku berangkat ke Depok dengan uang yang tak begitu banyak karena aku mendapat subsidi dari pemerintah per bulannya. Tak lupa aku membawa gitar yang dibelikan ibuku beberapa tahun lalu saat aku masih aktif di extra musik SMP, Kata ibu gitar ini akan menolongku dalam keadaan apapun.
Pada semester pertama aku menjalani kuliahku dengan semangat, di bulan berikutnya, bulan berikutnya dan bulan bulan berikutnya lagi sampai genap satu semester. Namun ternyata jalan tak selalu indah. Jalan tak selalu seperti apa yang diatur manusia. Di sana aku kesulitan mencari teman sulit mencari orang-orang baik. Apa mungkin inilah karma? Tak ada yang mau mengenalku. Apa karena aku adalah orang Banyuwangi. Kenapa? ada apa? kenapa mereka semua takut kepadaku? santet, yeah santet? Aku mencoba menekankan lagi kalau daerahku memang terkenal dengan ilmu hitamnya namun dulu, dulu sekali pada zamannya nenek moyang. Aku hanya bisa bilang kalau Banyuwangi adalah penyumbang oksigen, Banyuwangi wilayah hijau penuh kedamaian dan Banyuwangi adalah kota yang exsotis dan aku hanya mahasiswa biasa. Manusia pada umumnya. Aku punya Allah bukan santet atau ilmu hitam. Namun bukan itu alasannya. Alasanya adalah aku manusia yang terlalu idealis dan individualis. Kalau aku bisa apapun tanpa teman kenapa aku mencari teman? Kenapa ya? untuk apa? aku mencoba mencari-cari di internet kenapa manusia membutuhkan teman. Ternyata jawabanya adalah manusia memang terciptakan untuk saling berdampingan, bersosialisasi bahkan berpasang-pasangan. Kalau memang begitu aku harus berinteraksi dengan banyak orang dan ternyata itu menyenangkan. Menyenangkan sekali.
Semester dua telah berlalu, diiringi angin pagi. Aku menelusuri koridor kampus, saat itu masih sepi namun entah kenapa aku ingin pergi ke perpustakaan. Ada yang menuntunku berjalan kesana. Aku mendengar suara sepatu ber hak tinggi berirama di belakangku, seperti mengikuti langkahku. Aku berhenti suara sepatu itu juga berhenti tepat di belakangku. Aku menoleh ke arahnya. Perempuan. Perempuan cantik. Cantik sekali. dia tersenyum kepadaku. Aku juga tersenyum kepadanya. Aku tak tahu kenapa ada getaran di hatiku sedemikian rupa yang tak dapat kuungkapkan? Apa ini jatuh cinta? Apa ini namanya jatuh cinta? Selama ini aku tak pernah merasakan jatuh cinta. Aku tak pernah dekat dengan perempuan! Sama sekali.
“hai.. kenapa bingung?” ucapnya, bibir tipisnya mengayun indah.
“ma.. mau ke perpustakaan..” ucapku gemetar.
“sama dong.. kenalin gue Amelia dari Fakultas Ilmu Ekonomi..” dia mengatungkan tangannya dan aku meraih tanganya. Kami bersalaman.
“Bintang.. FKM” ucapku singkat. Kami melangkah bersama, berjalan sambil ngobrol ini itu. kami saling tanya dan saling ingin tahu. Di perpustakaan kami mencoba akrab. Begitu cepat dan singkat perkenalan kita. Kami menceritakan diri masing-masing, ternyata perempuan cantik itu berasal dari Jember, kami berdua ternyata bertetangga. Tak lupa kami bertukar nomor hp dan berharap bisa bertemu lagi. Itulah pertemuan pertama aku dan dia. Kusimpulkan dia cinta pertamaku.
Hari berganti hari aku semakin nafsu untuk menemuinya. Kami sering janjian di perpustakaan. Lama kelamaan kami berani keluar, ke bioskop, ke pantai, ke restoran dan kemana-mana, aku mencoba menyatakan perasaanku. Aku dan dia menjadi pasangan kekasih. Aku mencintainya. Sungguh sangat mencintainya.
Aku menceritakan kedekatanku dengan Amelia kepada ayah, namun pendapat ayah aku tak boleh pacaran dulu sampai aku lulus dan sarjana. Namun aku tak peduli larangan ayahku. Aku tetap saja pacaran dengan Amelia. Kebutuhanku pun semakin banyak, sebagai laki-laki aku mencoba memberi kebahagiaan untuk Amelia walaupun kutahu ia tak menginginkan aku itu, uang beasiswaku habis sebelum waktunya, terpaksa aku meminta kiriman kepada ayahku. Aku sering bolos kuliah setiap harinya bukan karena Amelia namun aku senang bergaul dengan komunitas-komunitas hitam di Jakarta, mungkin aku sangat keterlaluan. Nilaiku anjlok bebas sehingga pada suatu saat setelah Ujian semester 5 beasiswaku dicabut.
Aku berjalan pelan dan lemas, saat aku tiba di depan tempat kos, Amelia telah berdiri. Dia memelukku, menghiburku sampai fikiranku mulai tenang. Kami berdua masuk ke dalam kamar kontrakkan. Dia duduk di sebelahku sambil memijit bahuku.
“sayang aku membawakan ini untukmu..” dia mengeluarkan beberapa botol minuman, yang kutahu itu adalah minuman beralkohol tinggi. Dia membuka tutupnya dan memberikannya padaku. Jujur selama ini aku tak pernah menyentuh yang namanya minuman keras. Merok*k saja tak pernah apalagi minum!
“sekali-kali saja, ini hanya menghangatkan badan, di luar hujan lebat” aku mengangguk, mungkin saat itu aku stress berat dan aku meneguknya. Aku mengernyit, rasannya benar-benar tak enak. Setelah beberapa tegukkan lidahku mulai terbiasa. Aku menghabiskan satu botol minuman. Kepalaku rasanya mulai pusing sekali. lebih pusing dari sebelumnya, setelah itu aku seperti terbang dalam khayalan.
Hujan yang turun dengan derasnya tak menyadarkanku. Entah apa yang terjadi aku tak tahu. Aku membuka mata, aku mencium bau tak enak pada aroma nafasku. kepalaku masih pening, aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi siang ini. aku mengingat-ingat dan akhirnya aku ingat beasiswaku telah hilang. Aku menoleh ke samping, Amilia tertidur pulas membelakangiku. Tanpa baju. Dan aku. aku juga tak memakai baju. Entah kenapa aku terburu nafsu birahiku. Bulan tersenyum riang menyaksikan kami berdua.
Bulan berganti bulan, aku meminta kiriman terus menerus dari ayahku. Aku tak pernah peduli ayahku dapat uang dari mana. Ia tetap memberi, memberi dan memberiku. Pada bulan ke 3 semester 5 ayah menelfonku kalau sawah kita telah habis dijual. Ayah tak memiliki apa-apa lagi kecuali rumah dan beberapa ternak untuk membiayayai sekolah Dion. Entah kenapa semenjak ada Amilia aku tak pernah lagi merindukan orang rumah. Selama aku di Jawa Barat aku belum pernah sekalipun pulang ke Banyuwangi. Ini sudah tahun ke dua aku disini kata ayah aku harus pulang ke Banyuwangi agar aku bisa melihat keadaan rumah sekarang. Aku merenung, merenung dan merenug. Pasca beasiswaku di cabut aku menghindari Amelia. Rasanya aku tak ingin bertemu dia lagi. Aku ingin sendiri dan fokus kepada kuliahku. Aku mulai rajin belajar. Mengejar lagi yang selama ini tertinggal. Belum terlambat fikirku.
Aku bekerja serabutan ini-itu, ngajar les musik, les bahasa inggris dan lain-lain bahkan sampai ngamen untuk membiayai kuliahku yang tinggal satu setengah tahun lagi. Tak ada waktu istirahat bagiku, aku sibuk berat. Metropolitan yang sesungguhnya adalah kejam. Disini terdapat hukum alam siapa cepat dia dapat. Dari bekerja serabutan aku masih kurang untuk membiayai kuliah dan kebutuhan hidupku. Tepat pada bulan terakhir di semester 5. Amelia menemukan tempat persembunyianku pada suatu malam di Bogor ketika itu aku mengikuti penyuluhan kesehatan warga Bogor. Kebetulan aku sendiran, karena saat itu hendak ngamen sambil berjalan pulang ke camp. Lumayan pikirku.
“kenapa kamu menghindariku enam bulan ini Bintang?” tanyanya. Matanya berkaca-kaca. Dia keluar dari taksi dan langsung melabrakku. Aku tak bisa berlari lagi saat ini.
“aaa.. akku, aku mencari uang untuk kelangsungan kuliahku. beasiswaku sudah di cabut dan harta orangtuaku telah terkuras habis.” Jelasku..
“terus kamu mau kabur dariku? Iya? Aku ini hamil Bintang… aku hamil..” ucapnya.. aku terpaku dan diam membisu melihat tangisnya meledak.
“hamil?” aku melangkah beberapa langkah untuk menyentuhnya dan menanyakan apakah ia baik-baik saja selama lima bulan tanpaku, jiwa keayahanku tiba-tiba muncul namun kakiku berat. Kenapa kabar ini sangat menyakitkan, lebih sakit daripada keruntuhan langit. Ini beda, tak seperti yang di rasakan ayahku ketika ibu bilang kalau dirinya hamil. Apa yang harus aku lakukan? Aku terjatuh bersimpuh aku menangis di hadapan Amelia yang berdiri jauh dariku.
“kenapa kita lakukan itu mel? Kenapa? aku belum bisa menjadi ayah yang baik. aku belum bisa menjadi kepala keluarga yang baik dan aku belum bisa membiayai kehidupan kita bertiga nanti.. aku telah hancur, hancur gara-gara wanita sialan sepertimu” teriakku.. membentak
“kenapa harus terjadi seperti ini? kenapa” emosiku meluap, aku memukul-mukul tanah yang mulai mengering seperti mau mematahkan tanganku sendiri. Amelia berjalan mendekat dan semakin mendekat.
“Jangan mendekat kamu.. aku tahu itu bukan anakku.. kamu bermain dengan laki-laki lain kan..!!” tangisku semakin meledak, Amelia juga menangis mencoba meyainkanku.
“Ini anak kamu ham… semenjak malam itu aku mencarimu kemana-mana.. aku hanya ingin kamu tahu aku nggak halangan lagi. ingat saat kita melakukan kita nggak mabuk kan..? kamu berjanji kita akan menikah” ucapnya menggali-gali fakta.
“kamu ayah dari anak kita. Anak kita berdua..” sambungnya lagi..
“Tidakk.. aku nggak pernah punya anak.. hiikkss hikkss..” aku semakin menangis dan merasa kalau ini adalah hari paling buruk dalam sejarah hidupku. Aku berharap ini hanya mimpi. Namun ini bukan mimpi. Inilah kenyataan. Aku terjatuh dalam kesakitan.
“okelah kalau kamu tidak mau mengakui ini anakmu.. bagaimanapun caranya aku akan menggugurkannya. Demi kebaikanmu dan aku. Kebaikan kita bertiga. Aku nggak akan meminta hartamu sebagai ganti keprawananku. Dan aku juga nggak akan minta uangmu untuk membiayai pengguguran ini, namun satu yang aku minta. Temani aku saat proses pengguguran ini. aku mohon. Dampingi aku sebelum aku menghembuskan nafasku terakhir.” Dia berbicara tepat di depanku lalu dia berlalu dengan taksi warna biru. Entah kemana. Aku berlari.. berlari dan berlari.. aku berlari dan berteriak sekencang-kencangnya.. tak peduli jalanan menatapku aku berlariii dan akhirnya aku tak mampu melangkah lagi. Aku terjatuh. Kugenggam lengan gitar dari ibuku. Wajahnya melintas, aku rindu ibu. Otakku yang cerdas berputar kencang, saat ini aku bodoh.
Aku berjalan lagi memutar tubuhku untuk ke camp. tak ada gunanya aku berlari, di tengah perjalan aku berhenti tepat di depan masjid besar. Seperti biasa seperti ada yang menuntunku, aku melangkah masuk. Mengambil air wudhu dan shalat isya. Aku menangis memohon ampunan kepada Sang Haliq. aku membaca beberapa lembar Al Quran yang selama ini lama tak tersentuh olehku. Hatiku mulai tentram. Otakku mulai dingin. Sepertinnya Allah menunjukkan jalanNya. Aku ingat saat ibu meninggal karena keguguran. Aku sedih Aku nggak ingin kehilangan anakku. Aku nggak ingin. Sebenarnya aku mencintai Amelia, cinta pertamaku. Aku berniat untuk membawa Amelia pulang besok. Yaa besok aku akan pulang.
Saat itu juga aku pergi ke tempat kos Amelia. Dari Bogor langsung ke Depok. Kemacetan panjang pun aku terjang. Aku menunggu di depan rumah kos. Aku mengirim sms berkali-kali agar dia keluar namun tak satu pun ia balas, aku mencoba menelfon hpnya tidak aktif. Aku masuk ke dalam rumah dan berdiri mematung di depan kamarnya. Bismilahirahmanisahim aku membuka pintunya, dia tidur dibalut selimut. Aku memberanikan diri masuk. Saat kusisihkan selimutnnya terlihat di tangan kanannya ia menggenggam Al-quran mini. Hatiku berdesir.
“sayang… bangun..” tanganku menyibak rambutnya. Dia menyipitkan matannya dan menatapku.
“Maaf mengagetkan kamu, sini duduk dekat papah..” ucapku sehalus mungkin. Ia menurut lalu duduk di sampingku, wajahnya sangat pucat pasi. Tanganku mengelus perut Amelia seperti yang sering dilakukan ayah kepada almarhum ibuku saat hamil Dion maupun adik perempuanku. Memang perutnya mulai besar. Aku mencium perutnya lalu tersenyum padanya.
“Aku mencintaimu mel.. aku nggak akan menyuruhmu untuk menggugurkan bayi kita.. kita akan menikah.. kita akan bersama selamnya.. aku janji” ucapku.
“Benarkah? Kita akan menikah..?”
“yaa.. besok kita pulang ke Banyuwangi, aku akan mengenalkanmu kepada ayah dan adikku, setelah itu aku akan melamarmu.. dan kita menikah.. tapi maaf aku nggak bisa membuat pesta megah untukmu..” ucapku lagi sambil menundukkan kepala. Seperti tak berguna.
“Aku tak butuh pesta pesta, yang penting kita menikah sah secara agama sudah cukup, aku siap menjadi mualaf” ucapnya, matanya berbinar. Aku memandangnya, ada ketulusan.
“Tapi kamu harus janji, menerimaku apa adannya.. dalam keadaan apapun.. susah senang bersama… janji..!” aku mengulurkan jari kelingking dan dia pun.
Pagi-pagi sekali, matahari belum tersenyum. Aku dan Amelia sudah berada di stasiun. Saat inilah kami akan pulang. Kami membawa ransel yang tak begitu besar. Perjalanan sangat lama sekali. Berjam-jam lamanya, sepertinnya calon istriku sudah tak nyaman duduk di gerbong. Kasihan anakku. Beberapa kali aku mengusap-usap perutnya sambil berkata “sabar ya sayang!!” walaupun belum begitu nampak besar, bayiku pasti kelelahan dalam perjalanan ujung Jawa Barat sampai ke ujung Jawa Timur.
Sesampainya di Stasiun Kalibaru kami turun dan menghentikan bus. Akhirnya perjalanan mengantarkan sampai ke rumahku. Masih sama seperti sebelumnya. Dengan ketakutan yang luar biasa aku mengetuk pintu dan salam beberapa kali, terdengar suara gebyuran orang mandi di belakang rumah, aku mengetuk lagi Dion yang membuka. Ia memelukku penuh rindu.
Kulihat foto-fotoku masih terpampang di ruang tamu. Foto-fotoku yang multitalenta. Bahkan pialaku masih berjajar rapi di rak khusus, ada beberapa yang baru. Aku membacanya. Lomba lari dan lomba renang tingkat Kabupaten. Ya, itu milik Dion. Pasti Dion menunggu kedatanganku untuk memamerkan prestasinya.
“Hebat kau sekarang… mau jadi atlet ya?” aku mengacak-acak rambutnya. Dia tersenyum bangga. Kuperkenalkan Amelia kepadanya. Calon kakak ipar, aku berbisik kalau aku akan numpang tidur di kamarnya beberapa hari ini, biar Amelia tidur di kamarku.
“Mana Ayah?” tanyaku..
“Masih mandi mas..” ucapnya. wajahnya sangat tampan. Mirip wajah ibuku yang cantik.
“Oh ya Amelia kamu duduk di sini dulu yaa, aku cari ayahku dulu..” Amelia mengangguk. Aku menyuruh Dion membuatkan teh hangat dan menemaninya di depan.
Aku duduk di kursi bambu atau biasa di sebut “Lincak”, aku menunggu ayahku keluar. Ketika ayah membuka pintu dan melihat aku duduk di lincak, ayah berlari menghampiriku, memelukku penuh kerinduan bahkan mencium keningku. Oh senangnya bisa bertemu ayahku yang terlihat sedikit tua. Aku mengajaknya duduk. Dia mengungkapkan perasaanya tentang kepergianku. Ia benar-benar merindukanku. Namun aku tak bisa berlama-lama menyembunyikan ini. Aku langsung bercerta tentang Amelia, aku ingin ayah memintakan Amelia kepada orangtuanya karena.. karena.. ia telah aku hamili.
“apa-apan kamu Bintang? Selama ini kamu buat ayah bangga tapi akhirnya kamu hamili anak orang.. sudah bisa apa kamu? Hah? Kuliah saja masih minta orangtua. main-main hidupin anak orang, kamu pikir punya rumahtangga itu enak?”
“maafin Bintang yah.. ini jalan satu-satunya, Bintang mau bertanggungjawab.. Bintang janji akan biyayai keluarga Bintang sendiri, Bintang mohon yah.. nikahkan Bintang sama Amelia. Bintang tidak mau Amel dan anakku meninggal seperti ibu” aku menangis sambil bersimpuh di kaki ayahku. Bersujud dan memohon. Ayah terdiam mendengar penekankanku.
“Bintang, ayah nggak nyangka kamu seperti ini… ayah benar-benar nggak nyangka”
“maafin Bintang yah.. restui kami. Aku berjanji akan berusaha jadi kepala rumah tangga yang baik.. mengurus anak dan istriku.. menjadi imam yahh hikks hikks hikk”
“Plakkkkkkk” ayah menamparku, suaranya terdengar sampai ke ruang tamu. Setelah itu ia memelukku. Kami menangis berdua.
“baiklah ayah nikahkan kamu, tapi ingat setelah kamu berumah tangga kewajiban ayah sudah lepas terhadapmu..” ayah menatapku. Aku mengangguk seperti anak kecil.
Acara lamaran pun terlaksana. Keluargaku datang ke Jember meminta Amelia. Setelah itu prosesi memuslimkan Amelia dan selang seminggu kemudian Ijab Kabul di KUA terdekat. Kami pun resmi menjadi suami istri. Kami kembali ke Depok. Memulai hari demi hari berdua satu kontrakan.
Beberapa bulan, perut Amelia semakin besar.. aku kewalahan mencari uang sana-sini, uang untuk kuliahku dan kuliah Amelia serta kebutuhan untuk calon bayiku, setiap pukul 07.00 sampai 13.00 aku magang di puskesmas pulangnya ke studio musik menjadi guru les piano setelah itu kuliah dan malam pulang menemani istri. Begitulah setiap harinya.
Pada suatu hari aku mendapat kabar dari teman kalau hari ini ada audisi pencarian bakat oleh salah satu setasiun TV swasta. Aku langsung berlari pulang menemui istriku, meminta izin kepadanya ia pun merestuiku, mengantarkanku mengikuti audisi dengan perutnya yang membesar. Aku memainkan gitarku dan menyanyikan lagu “Ibu” milik Iwan Fals. Bayangan wajah ibu melintasi mataku. Dan tak disangka aku lolos audisi saat itu juga. Aku masuk seleksi dari minggu ke minggu. Sampai akhrinya kini aku menjadi finalis dan berdiri di panggung megah ini. Semua bersorak seraya dentingan musik berhenti. “Trimakasih semua” ucapku, sambil melirik istriku yang duduk paling depan sambil menggendong Baby Tricia.
Bintang kembali bersinar.
TAMAT
Cerpen Karangan: Rachma
Nama: Yulianingtyas Rahmawati
Alamat: Gambiran Banyuwangi.
Sekolah: SMAN 1 GAMBIRAN
Jalan Sriwijaya No 11 Wringinagung Gambiran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar